Bayi Prematur Berisiko Retinopati

Kamis, 09 November 2017 - 08:22 WIB
Bayi Prematur Berisiko Retinopati
Bayi Prematur Berisiko Retinopati
A A A
JAKARTA - Bayi prematur berisiko alami Retinopati Prematuritas (ROP), yang disebabkan pertumbuhan tidak sempurna dari retina. Gangguan mata ini dapat hilang secara spontan namun pada kasus berat bisa berujung pada kebutaan.

Pada 2010, Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjudul Born Too Soon, The Global Action Report on Preterm Birth menempatkan Indonesia di urutan ke-5 sebagai negara dengan jumlah bayi prematur terbanyak di dunia. Bayi prematur (lahir dengan berat kurang dari 1500 gram atau usia kehamilan kurang dari 34 minggu) diketahui menjadi penyumbang terbesar angka kematian bayi serta cacat fisik.

Menurut data WHO, 44% kematian bayi di dunia pada 2012 terjadi pada 28 hari pertama kehidupan (masa neonatal), dimana penyebab terbesarnya (37%) ialah kelahiran prematur. Prematur menjadi penyebab kematian kedua tersering pada balita setelah pneumonia. Bukan hanya kematian yang menjadi kekhawatiran pada bayi prematur.

Faktanya bayi prematur juga dihadapkan pada segenap gangguan kesehatan lain yang mungkin diderita dan dapat berujung pada kecacatan. Sebut saja gangguan pendengaran maupun penglihatan. Salah satunya gangguan mata Retinopati Prematuritas (ROP). Penyakit ini diduga disebabkan oleh pertumbuhan tidak sempurna dari retina pembuluh darah yang dapat menyebabkan jaringan parut dan operasi pada retina.

Gangguan mata ROP dapat terjadi dalam skala ringan, dimana dapat menghilang secara spontan, namun pada kasus yang berat dapat mengakibatkan kebutaan. Maka itu Prof. Dr. Rita Sita Sitorus, SpM (K), PhD, menekankan pentingnya penanggulangan kebutaan pada bayi dan anak.

“Karena bayi yang terlahir buta atau menjadi buta setelah tumbuh menjadi anak-anak memiliki waktu hidup dengan kebutaan yang lebih lama dibandingkan mereka yang menderita kebutaan pada usia dewasa,” papar pakar kesehatan mata anak ini dalam acara Deteksi dan Pencegahan Gangguan Penglihatan pada Bayi Prematur yang diadakan Standard Chartered Bank (Bank), bekerjasama dengan RSCM dan Hellen Keller Internasional.

Sementara itu Dody Rochadi, Country Head Corporate Affairs Standard Chartered Bank Indonesia mengatakan, kebutaan merupakan salah satu isu kunci di pangsa pasar Standard Chartered Bank dimana gangguan penglihatan dapat mengurangi kualitas hidup seseorang dan keterbatasan tersebut berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang

“Menurut data dari the International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB), biaya ekonomi akibat dari hilangnya produktivitas oleh karena kebutaan yang dapat dihindari diperkirakan mencapai 200 miliar dollar AS per tahun,” beber Dody.Tanpa tindakan nyata, sambungnya, biaya tersebut dapat melambung hingga 300 miliar dollar AS per tahun pada 2020. Mencegah kebutaan menjadi salah satu upaya kesehatan paling efektif dengan biaya terjangkau.

Biaya yang dapat dihemat secara global dengan mencegah kebutaan sebesar 223 miliar dollar AS selama jangka waktu 20 tahun. Menurut data Fred Hollows Foundation bekerjasama dengan PriceWaterhouseCoopers, setiap 1 Dolar AS yang diinvetasikan untuk mengentaskan kebutaan yang dapat dicegah, mendorong sekitar 4 dollar AS keuntungan ekonomi.

“Melalui program Seeing is Believing (SIB) yang berfokus pada kampanye penyadaran terhadap pencegahan kebutaan yang dapat dihindari atau disembuhkan, Standard Chartered turut membantu menyadarkan masyarakat akan pentingnya deteksi dini untuk mencegah gangguan penglihatan yang dapat terjadi pada bayi prematur, seperti low vision, kelainan refraksi, hingga kebutaan” tambah Dody.

Bank juga mengalokasikan dana program SIB untuk mendukung kerjasama HKI dan RSCM untuk merintis sistem penanganan ROP di berbagai rumah sakit umum daerah (RSUD). Saat ini perawatan untuk Retinopati Prematuritas baru tersedia di RSCM, sehingga program ini merupakan program pertama yang memperluas akses ke layanan ROP di tingkat RSUD di Jakarta. Dana tersebut juga akan digunakan untuk pelatihan staf rumah sakit di RSCM dan RSUD. Program SIB dilaksanakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sejak 2003. (Sri Noviarni)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3596 seconds (0.1#10.140)